Politik Anggaran dan Lembaga Eksekutif: Transparansi atau Sekadar Formalitas?

Tidak ada komentar


Serang, TF.com || Anggaran adalah jantung dari kebijakan publik. Dalam anggaran, tersembunyi arah pembangunan, prioritas negara, dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Di Indonesia, lembaga eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjadi aktor dominan dalam merancang dan mengeksekusi anggaran. Namun pertanyaannya: sejauh mana proses ini dilakukan secara transparan dan akuntabel? Ataukah, proses penyusunan anggaran selama ini hanya menjadi formalitas birokratik yang miskin partisipasi dan penuh kepentingan.

Dalam sistem presidensial, kewenangan penyusunan anggaran ada di tangan Presiden melalui Kementerian Keuangan, yang kemudian dibahas dengan DPR. Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa DPR sering kali hanya menjadi "stempel politik" dari apa yang telah dirancang eksekutif. Transparency International Indonesia (TII) dalam laporan Global Corruption Barometer (2022) mencatat bahwa lebih dari 60% masyarakat tidak percaya bahwa pengelolaan anggaran dilakukan secara bersih dan jujur.

Situasi di daerah tidak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pemantauan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), lebih dari 70% pemerintah daerah belum menyampaikan dokumen APBD secara lengkap di situs resminya, bertentangan dengan amanat UU KIP No. 14 Tahun 2008. Hal ini mengindikasikan lemahnya komitmen eksekutif dalam keterbukaan informasi publik.

Politik anggaran acap kali tidak mencerminkan kebutuhan rakyat. Alih-alih digunakan untuk layanan publik yang berkualitas, dana publik sering dialokasikan untuk proyek-proyek mercusuar yang sarat kepentingan politik. Kasus anggaran “lem Aibon” sebesar Rp. 82 miliar di DKI Jakarta tahun 2019 atau dugaan korupsi dana PEN yang disorot BPK senilai Rp2,94 triliun pada 2022 menjadi contoh nyata betapa proses anggaran bisa menjadi celah penyimpangan. Bahkan dalam laporan KPK tahun 2021, sektor pengadaan barang dan jasa—yang erat kaitannya dengan realisasi anggaran—menjadi sektor paling rawan korupsi.

Partisipasi publik dalam anggaran semestinya menjadi ruang dialog antara negara dan warganya. Namun kenyataan berkata lain. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) kerap berlangsung normatif, tidak berpengaruh signifikan terhadap dokumen akhir anggaran. Sebuah studi oleh LPEM UI (2023) menyatakan bahwa hanya 15-20% dari usulan masyarakat dalam Musrenbang yang benar-benar diakomodasi dalam RAPBD. Ini menunjukkan bahwa partisipasi publik belum berjalan secara substantif.

Ketika anggaran tidak disusun secara partisipatif dan akuntabel, dampak jangka panjangnya adalah hilangnya kepercayaan publik dan memburuknya ketimpangan sosial. World Bank mencatat bahwa indeks Gini Indonesia stagnan di angka 0,38—angka yang mengindikasikan ketimpangan tinggi. Ironisnya, belanja negara belum benar-benar difokuskan pada sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan yang pro rakyat miskin.

Untuk mengubah politik anggaran dari sekadar formalitas menjadi pilar demokrasi, beberapa langkah penting perlu ditempuh: Digitalisasi dan Open Budget: Pemerintah perlu mengoptimalkan portal seperti APBN Kita dan SIPD agar mudah diakses masyarakat, dengan format yang tidak hanya legalistik tapi juga informatif dan visual, Penguatan Fungsi Pengawasan: Peran BPK, KPK, dan masyarakat sipil perlu diperkuat dalam melakukan audit dan pemantauan secara independen dan responsif, Mekanisme E-Participatory Budgeting: Penerapan platform digital yang memungkinkan masyarakat memberi masukan langsung terhadap perencanaan anggaran perlu diperluas, seperti yang telah diterapkan di Surabaya dan Yogyakarta, Pendidikan Literasi Anggaran: Pemerintah perlu melibatkan perguruan tinggi, LSM, dan media untuk membangun kesadaran publik soal pentingnya transparansi anggaran.

Politik anggaran adalah cerminan kedewasaan demokrasi. Ketika lembaga eksekutif masih menjalankan proses ini secara tertutup dan prosedural, maka yang lahir bukanlah kebijakan pro-rakyat, melainkan kompromi elite yang tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat. Sudah saatnya kita menagih janji reformasi anggaran yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik. Karena setiap rupiah yang dikelola pemerintah, sejatinya adalah milik rakyat.

Penulis,

Bangbang Nugraha 

Angga Rosidin,S.I.P.,M.A.P

Zakaria Habib Al-Ra'zie, S.I.P.,M.Sos.

Tidak ada komentar

Posting Komentar