Kontrak Fiktif, Kerugian Nyata: Masih Percaya Tanpa Hitam di Atas Putih?
TF.com || Oleh: Tri Fauzi Ramadhan – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Serang
”Udah kenal lama, masa nggak percaya?” Kalimat itu sering kali dijadikan pembenaran untuk memulai kerja sama bisnis atau pinjam-meminjam uang tanpa perjanjian tertulis. Semua berangkat dari rasa percaya dan komunikasi informal yang biasanya terjadi sambil ngopi di warung atau ngobrol santai via WhatsApp. Sayangnya, ketika masalah muncul-uang tidak kembali, janji dilanggar, atau partner bisnis menghilang tanpa jejak-baru terasa pentingnya dua hal yang sering disepelekan: bukti dan kejelasan.
Fenomena kontrak fiktif, atau kerja sama tanpa dokumen hukum yang jelas, bukan cuma cerita klasik di lingkungan pertemanan atau keluarga. Dalam praktiknya, ini menjadi akar dari banyak sengketa perdata. Kerugiannya nyata, tapi perlindungan hukumnya sering kali minim karena tidak ada yang bisa dijadikan pegangan di pengadilan. Hukum kita memang tidak melarang perjanjian lisan, bahkan mengakuinya sah sejauh memenuhi syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): kesepakatan para pihak, kecakapan hukum, objek yang jelas, dan sebab yang halal. Tapi masalah muncul saat perjanjian itu perlu dibuktikan. Di sinilah perjanjian tertulis punya posisi yang jauh lebih kuat.
Salah satu contoh kasus yang cukup menarik terjadi dalam perkara No. 45/Pdt.G/2021/PN.JKT.SEL. Seorang investor menggugat temannya sendiri karena merasa dirugikan. Ia mengaku telah mentransfer dana sebesar dua ratus juta rupiah untuk proyek properti, namun proyek tak pernah berjalan dan uang tak kembali. Di pengadilan, ia hanya membawa bukti transfer dan percakapan digital yang menggambarkan kesepakatan mereka. Tapi tidak ada satu pun dokumen perjanjian yang secara jelas menjabarkan tujuan kerja sama, pembagian keuntungan, atau jangka waktu pelaksanaan. Dalam putusannya, hakim menyatakan bukti-bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya perjanjian yang mengikat secara hukum. Gugatan pun ditolak.
Kasus seperti ini seharusnya menjadi pelajaran penting. Kepercayaan memang menjadi fondasi utama dalam kerja sama, apalagi jika melibatkan teman, saudara, atau relasi dekat. Tapi dalam konteks hukum, kepercayaan tanpa perlindungan justru bisa membuka peluang pengingkaran. Di hadapan hakim, rasa percaya tidak cukup. Hukum berdiri di atas bukti, bukan sekadar kata-kata.
Membuat perjanjian tertulis bukan berarti kita curiga. Justru itu adalah bentuk penghormatan terhadap kerja sama itu sendiri. Tak harus selalu berbentuk akta notaris, bahkan surat pernyataan sederhana yang ditandatangani kedua belah pihak dan disaksikan pihak ketiga pun sudah cukup kuat sebagai alat bukti. Dalam era digital seperti sekarang, bukti komunikasi juga bisa diperkuat dengan dokumen tertulis sebagai pengikat utama.
Hukum tidak mengenal kata “saya kira kita sepakat” tanpa dasar yang bisa dibuktikan. Dalam dunia yang makin kompleks, keberanian untuk meminta semuanya hitam di atas putih bukan sikap kaku, melainkan tindakan cerdas. Karena ketika masalah datang, hanya dokumen yang bicara, bukan kenangan.
(MS)